Friday, 14 October 2016

Memakai Jilbab di Luar Rumah, Melepas Jilbab di Dalam Rumah, Bagaiman Hukumnya? Ini Jawabannya

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Manusia itu terlahir sebagai makhluk yang tidak

tahu apa-apa. Tapi Allah memberinya akal sebagai modal untuk mempelajari ilmu. Ilmu menjadi bekal untuk beramal.

Memakai Jilbab di Luar Rumah, Melepas Jilbab di Dalam Rumah, Bagaiman Hukumnya? Ini Jawabannya


Dengan mengetahui bumbu dapur dan teknik mengolah makanan, seseorang insya Allahakan lihai dalam memasak.

Dengan kemampuan membaca, seorang anak insya Allah bisa memperluas cakrawala lewat berbagai buku.

Dengan mengetahui ilmu medis, seorang dokter insya Allah akan mampu mengobati pasien.

Dengan ilmu teknik, seorang ilmuwan insya Allah bisa membangun jembatan yang kokoh.

Demikian pula dengan ilmu agama. Hari ini mungkin kita sudah mengetahui perkara A, maka kita mengamalkannya. Kemudian esok, kita mengetahui perkara B, kemudian kita mengamalkannya. Begitulah terus hingga kita wafat. Ilmu itu bermanfaat karena berbuah amal salih. Apa gunanya ilmu kalau tidak diamalkan?

18 golongan orang

Jilbab adalah salah satu syariat Islam yang bermanfaat menjaga kehormatan wanita. Seluruh aurat ditutup dari pandangan lelaki yang bukan mahram, di mana pun itu.

Oleh sebab itu,

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada para wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Ayat di atas merinci beberapa orang. Seorang wanita muslimah boleh melepas jilbab di hadapan mereka. Mari kita runut kembali:

Suami.
Ayah.
Ayah suami (mertua).
Putra (anak lelaki kandung).
Putra suami (anak lelaki tiri).
Saudara laki-laki.
Putra saudara lelaki (keponakan lelaki dari saudara lelaki).
Putra saudara perempuan (keponakan lelaki dari saudara perempuan).
Wanita-wanita Islam.
Budak-budak.
Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) *)
Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nisa: 23)

Adapun pada surat An-Nisa di atas, disebutkan wanita yang menjadi mahram bagi seorang lelaki. Mari kita runut kembali.

Ibu.
Anak perempuan.
Saudara perempuan.
Saudara bapakmu yang perempuan (tante/bibi).
Saudara ibumu yang perempuan (tante/bibi).
Anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki (keponakan perempuan).
Anak perempuan dari saudaramu yang perempuan (keponakan perempuan).
Ibu susuan.
Saudara perempuan sepersusuan.
Mertua perempuan (ibu mertua).
Anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri yang ibunya telah dinikahi oleh sang lelaki dan telah dia setubuhi dalam ikatan nikah tersebut).
Dari rincian dalam surat An-Nisa tersebut, bisa dipahami bahwa mahram bagi seorang wanita adalah:

Anak lelaki kandung.
Ayah kandung.
Saudara lelaki kandung.
Keponakan lelaki.
Om/paman.
Anak susuan.
Saudara lelaki sepersusuan.
Menantu lelaki.
Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Untuk mengetahui di hadapan siapa saja seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya, surat An-Nur: 31 dan surat An-Nisa: 23 saling melengkapi satu sama lain. Oleh sebab itu, bila kita gabungkan keduanya, maka bisa kita ketahui bahwa seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya di hadapan:

Suami.
Ayah kandung.
Ayah suami (mertua).
Putra-putra (anak lelaki).
Putra-putra suami (anak tiri).
Saudara lelaki kandung.
Putra-putra saudara lelaki (keponakan lelaki).
Putra-putra saudara perempuan (keponakan lelaki).
Anak lelaki kandung.
Om/paman.
Anak susuan.
Saudara lelaki sepersusuan.
Menantu lelaki.
Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Selain 14 orang mahram tersebut, ada lagi beberapa orang yang di hadapannya seorang wanita muslimah boleh membuka jilbab, yaitu:

Wanita-wanita Islam.
Budak-budak.
Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).
Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dengan demikian, totalnya menjadi 18 golongan orang.

Berjilbab tanpa mengenal tempat

Hanya di hadapan 18 golongan di atas saja seorang wanita muslimah boleh membuka jilbabnya. Adapun di hadapan selainnya, maka aurat wajib ditutup. Itu berlaku di mana pun, tanpa mengenal tempat; di dalam maupun di luar rumah.

Jika ada lelaki non mahram di dalam rumah, sang muslimah wajib menutup auratnya agar tak terlihat oleh si lelaki. Namun jika si lelaki sudah pergi, dia boleh kembali melepaskan jilbabnya.

Contohnya dalam keseharian:

– Hindun dan suaminya kedatangan tamu, sepasang suami-istri. Hindun mesti berjilbab dan menutup auratnya ketika berada di hadapan tamunya itu.

– Zainab, ayah, dan ibunya berkunjung ke rumah kakak perempuan Zainab yang telah menikah. Selama beberapa jam mereka berada di sana. Abang ipar Zainab bukanlah mahram bagi Zainab, sehingga Zainab tetap wajib menutup aurat ketika di hadapan abang iparnya, meskipun itu di dalam rumah kakaknya sendiri.

– Sarah sedang berada di kamar ketika adik lelakinya datang bersama teman lelakinya. Mereka berdua kemudian masuk rumah dan duduk mengobrol di ruang tamu. Kamar Sarah berada di samping ruang tamu, sehingga pintu kamarnya terhubung dengan ruang tamu. Karenanya, bila Sarah ingin keluar kamar saat itu, dia wajib berjilbab dan menutup aurat karena teman adiknya sedang berada di ruang tamu.

– Maryam selalu menyapu pekarangan rumahnya setiap pagi. Pekarangan rumah itu tepat berada di tepi jalan; kendaraan lalu-lalang di sana. Dengan demikian, Maryam wajib berjilbab dan menutup aurat ketika menyapu pekarangan rumahnya.

Jadi, seorang muslimah wajib mengenakan jilbab dan menutup auratnya bila ada lelaki yang bukan mahramnya atau orang yang tidak tergolong dalam 18 golongan yang telah kita sebutkan di atas. Itu wajib dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Catatan:

*) mengenai poin pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita

 (’التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَال ’) 

ada 3 kriterianya, yaitu:

lelaki baligh (Allah sebut rijal),
hidupnya bergantung ke orang lain (tidak bisa mandiri),
tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Seperti orang ideot, orang impoten yang tidak punya gairah, atau orang gila. (Tafsir as-Sa’di, 566)

Sumber: wanitasalihah.com

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Memakai Jilbab di Luar Rumah, Melepas Jilbab di Dalam Rumah, Bagaiman Hukumnya? Ini Jawabannya

1 komentar: