(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Hari kebangkitan adalah suatu keniscayaan. Sebagai orang beriman
kita meyakininya, seyakin bahwa selama masih ada iman dalam dada kita, Insyaallah, Allah akan ampuni dosa-dosa kita dan mengizinkan kita memasuki surga-Nya.
Namun apa jadinya jika ternyata iman yang kita kira masih bersemayam dalam hati kita ternyata tak mampu membuat kita bersama dengan golongan orang-orang yang beriman lainnya, yang Allah sudah persilahkan mereka memasuki surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya? Sebuah tembok super besar justru memisahkan kita dari mereka, dan kemudian Allah SWT jusru memberi kita label ‘Orang Munafik’? A’udzubillahi min dzalik.
Kemungkinan kejadian seperti ini ternyata ada, Sahabat Ummi. Allah SWT langsung mengisahkannya untuk kita lewat Al-Qur’an.
“Pada hari engkau akan melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka. ‘Pada hari ini ada berita gembira untukmu! Surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai’. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS Al Hadiid: 12)
“Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman ‘Tunggulah kami, kami ingin meminjam cahayamu’. (Kepada mereka) dikatakan ‘kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)’. Lalu di antara mereka dipasang dinding besar (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab.” (QS Al Hadiid: 13)
“Orang-orang munafik memanggil orang-orang beriman ‘Bukankah kami dahulu bersama kamu?’. Mereka menjawab ‘Benar, tapi kamu selalu meletakkan dirimu (imanmu) dalam kesulitan, dan kamu selalu memunda (sehingga akhirnya) kamu mulai ragu, dan kamu ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah (ajal). Dan penipu paling ulung (syetan) datang dan akhirnya memperdaya kamu tentang Allah.” (QS Al Hadiid : 14)
Hari kebangkitan adalah hari yang penuh dengan kegelapan. Kepada orang-orang beriman, Allah berikan cahaya yang akan memandu mereka menuju surga-Nya. Cahaya itu berada di depan mereka dan di samping kanan mereka. Yang di depan mereka berasal dari hati mereka yang beriman. Yang di samping kanan mereka berasal dari buku catatan amal kebaikan mereka. Beraneka rupa cahaya tergantung pada tingkat keimanan mereka. Ada yang cahayanya sangat terang, ada pula yang remang-remang.
Orang-orang munafik dibangkitkan tanpa cahaya. Karena itu ketika mereka melihat ada cahaya milik orang-orang beriman di sekeliling mereka, mereka mengikutinya seraya berkata, “Tunggulah kami, kami ingin meminjam dan mengikuti cahayamu.”
Namun tiba-tiba di hadapan mereka ada dinding yang sangat besar yang berpintu. Mereka tak bisa membuka pintu itu. Malaikat menghardik mereka ,”Kembalilah kamu ke belakang dan cari sendiri cahayamu!”. Sayangnya, hari kebangkitan bukanlah hari untuk mencari cahaya. Hari untuk mencari cahaya adalah hari-hari selama hidup di dunia. Di balik dinding sebelah sana (tempat orang-orang beriman) ada rahmat berupa surga, dan dibalik dinding sebelah sini (tempat orang-orang munafik) hanya ada azab yang siap menimpa (neraka).
Dalam kegelapan dan rasa putus asa, orang-orang munafik berteriak bertanya dari balik dinding kepada orang-orang beriman, “Bukankah kami dulu bersama kamu? Kita shalat bersama. Kita haji bersama. Kita ngaji bersama. Kita berdonasi bersama. Kita banyak melakukan amal kebaikan bersama-sama.”
Orang-orang beriman pun menjawab dari balik dinding, “Benar! Tapi kamu melakukan 3 hal yang akhirnya mencelakakan dirimu sendiri saat ini.” Tiga (hal) itu adalah:
1. Selalu meletakkan diri (iman) dalam kesulitan (fatantum anfusakum)
Fatantum berasal dari kata fitnah, yang artinya ujian yang berat. Mereka dulu ketika di dunia, selalu meletakkan dirinya dalam situasi yang membahayakan imannya. Dalam situasi di mana imannya seolah selalu berada dalam ujian teramat sulit. Misalnya tetap berteman karib dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat dengan keyakinan bahwa ia (dan imannya) kuat menghadapinya dan tak akan terbawa. Atau perempuan yang putus asa, akhirnya menerima pinangan lelaki mana saja walaupun dangkal imannya, dengan keyakinan setelah menikah bisa mengajak sang suami berislam secara lebih baik. Mereka mempertaruhkan keimanannya dalam situasi yang sulit.
2. Selalu memunda (sehingga akhirnya) menjadi ragu (wa tarabbashtum wa artabtum)
Tarabbashtum berasal dari kata tarabbus, yang artinya menunda-nunda, wait and see. Walaupun mengaku beriman, tapi mereka ternyata punya kebiasaan menunda-nunda kewajiban dan menunda-nunda amal sholeh. Merasa masih punya banyak waktu. Merasa umur masih panjang. Setiap kali berbuat maksiat pun, menunda-nunda taubat. Nanti sajalah kalau begini, nanti sajalah kalau begitu. Karena terlalu lama menunda banyak kewajiban, muncullah perasaan bersalah dalam dirinya. Maka syetan pun datang membisikkan padanya bahwa rasa bersalah itu muncul karena Islam terlalu banyak aturan, terlalu banyak perintah, terlalu banyak larangan, kurang membebaskan. Kemerdekaannya sebagai manusia hilang. Hak azazinya untuk menikmati hidup terhalang. Dan bisikan-bisikan indah lain dari syetan yang pada akhirnya membuatnya ragu pada Islam, ragu pada Al-Qur’an, ragu adanya hari kiamat dan hari pembalasan, bahkan akhirnya ragu apa benar Allah itu ada? A’udzubillahi min dzalik.
3. Tertipu oleh angan-angan kosong (wa gharratkumul amaanii-yu)
Kenikmatan berupa harta, kepandaian, kepopuleran dan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya, yang Allah berikan padanya ternyata tak ia gunakan untuk semakin mendekati Allah. Ia justru mengira kenikmatan itulah yang mampu memberikan kebahagiaan sejati padanya, sehingga ia justru menghabiskan hidupnya untuk fokus mencari kenikmatan-kenikmatan itu. Jika kenikmatan bertambah, dan merasa belum bahagia, ia merasa harus lebih banyak dan lebih keras lagi mencari kenikmatan itu. Ia tertipu oleh angan-angan kosong. Ia merasa asal masih ada iman dalam hatinya walau sedikit, Allah akan mengampuninya. Ia lupa, bahwa kebahagiaan bukan berasal dari kenikmatan dunia, kebahagiaan sejati berasal dari kedekatan hatinya kepada Allah, Robb-nya. Angan-angan kosong ini berhasil menipunya hingga datang kematian.
Dan jelas-jelas dalam ayat 13 dan 14 di atas, Allah memberi label munafik kepada orang-orang yang melakukan 3 hal tersebut di atas. A’udzubillahi min dzalik.
Sahabat Ummi, kita bersyukur telah diberikan nikmat berupa islam dan iman. Kini kita harus lebih hati-hati menjaga keislaman dan keimanan kita, agar kelak di hari kebangkitan, kita tidak merugi. Kita kira kita termasuk golongan orang-orang beriman, tapi ternyata tidak, hanya karena kita suka berada dalam situasi yang menyulitkan iman kita, hanya karena kita suka menunda-nunda, dan karena kita terlalu mabuk dengan kenikmatan dunia. Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita dari sifat-sifat demikian. Amiin. Dan Allah Maha Tahu Yang Sebenarnya.
Referensi:
1. Lessons from Surah Al-Hadiid:12-15 at video of jummah khutbah 1/22/2016 at fb Nouman Ali Khan.
2. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8, hal 50-53, Pustaka Imam Syafi’i, 2004
Sumber : ummi-online.com
kita meyakininya, seyakin bahwa selama masih ada iman dalam dada kita, Insyaallah, Allah akan ampuni dosa-dosa kita dan mengizinkan kita memasuki surga-Nya.
Namun apa jadinya jika ternyata iman yang kita kira masih bersemayam dalam hati kita ternyata tak mampu membuat kita bersama dengan golongan orang-orang yang beriman lainnya, yang Allah sudah persilahkan mereka memasuki surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya? Sebuah tembok super besar justru memisahkan kita dari mereka, dan kemudian Allah SWT jusru memberi kita label ‘Orang Munafik’? A’udzubillahi min dzalik.
Kemungkinan kejadian seperti ini ternyata ada, Sahabat Ummi. Allah SWT langsung mengisahkannya untuk kita lewat Al-Qur’an.
“Pada hari engkau akan melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka. ‘Pada hari ini ada berita gembira untukmu! Surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai’. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS Al Hadiid: 12)
“Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman ‘Tunggulah kami, kami ingin meminjam cahayamu’. (Kepada mereka) dikatakan ‘kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)’. Lalu di antara mereka dipasang dinding besar (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab.” (QS Al Hadiid: 13)
“Orang-orang munafik memanggil orang-orang beriman ‘Bukankah kami dahulu bersama kamu?’. Mereka menjawab ‘Benar, tapi kamu selalu meletakkan dirimu (imanmu) dalam kesulitan, dan kamu selalu memunda (sehingga akhirnya) kamu mulai ragu, dan kamu ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah (ajal). Dan penipu paling ulung (syetan) datang dan akhirnya memperdaya kamu tentang Allah.” (QS Al Hadiid : 14)
Hari kebangkitan adalah hari yang penuh dengan kegelapan. Kepada orang-orang beriman, Allah berikan cahaya yang akan memandu mereka menuju surga-Nya. Cahaya itu berada di depan mereka dan di samping kanan mereka. Yang di depan mereka berasal dari hati mereka yang beriman. Yang di samping kanan mereka berasal dari buku catatan amal kebaikan mereka. Beraneka rupa cahaya tergantung pada tingkat keimanan mereka. Ada yang cahayanya sangat terang, ada pula yang remang-remang.
Orang-orang munafik dibangkitkan tanpa cahaya. Karena itu ketika mereka melihat ada cahaya milik orang-orang beriman di sekeliling mereka, mereka mengikutinya seraya berkata, “Tunggulah kami, kami ingin meminjam dan mengikuti cahayamu.”
Namun tiba-tiba di hadapan mereka ada dinding yang sangat besar yang berpintu. Mereka tak bisa membuka pintu itu. Malaikat menghardik mereka ,”Kembalilah kamu ke belakang dan cari sendiri cahayamu!”. Sayangnya, hari kebangkitan bukanlah hari untuk mencari cahaya. Hari untuk mencari cahaya adalah hari-hari selama hidup di dunia. Di balik dinding sebelah sana (tempat orang-orang beriman) ada rahmat berupa surga, dan dibalik dinding sebelah sini (tempat orang-orang munafik) hanya ada azab yang siap menimpa (neraka).
Dalam kegelapan dan rasa putus asa, orang-orang munafik berteriak bertanya dari balik dinding kepada orang-orang beriman, “Bukankah kami dulu bersama kamu? Kita shalat bersama. Kita haji bersama. Kita ngaji bersama. Kita berdonasi bersama. Kita banyak melakukan amal kebaikan bersama-sama.”
Orang-orang beriman pun menjawab dari balik dinding, “Benar! Tapi kamu melakukan 3 hal yang akhirnya mencelakakan dirimu sendiri saat ini.” Tiga (hal) itu adalah:
1. Selalu meletakkan diri (iman) dalam kesulitan (fatantum anfusakum)
Fatantum berasal dari kata fitnah, yang artinya ujian yang berat. Mereka dulu ketika di dunia, selalu meletakkan dirinya dalam situasi yang membahayakan imannya. Dalam situasi di mana imannya seolah selalu berada dalam ujian teramat sulit. Misalnya tetap berteman karib dengan orang-orang yang suka berbuat maksiat dengan keyakinan bahwa ia (dan imannya) kuat menghadapinya dan tak akan terbawa. Atau perempuan yang putus asa, akhirnya menerima pinangan lelaki mana saja walaupun dangkal imannya, dengan keyakinan setelah menikah bisa mengajak sang suami berislam secara lebih baik. Mereka mempertaruhkan keimanannya dalam situasi yang sulit.
2. Selalu memunda (sehingga akhirnya) menjadi ragu (wa tarabbashtum wa artabtum)
Tarabbashtum berasal dari kata tarabbus, yang artinya menunda-nunda, wait and see. Walaupun mengaku beriman, tapi mereka ternyata punya kebiasaan menunda-nunda kewajiban dan menunda-nunda amal sholeh. Merasa masih punya banyak waktu. Merasa umur masih panjang. Setiap kali berbuat maksiat pun, menunda-nunda taubat. Nanti sajalah kalau begini, nanti sajalah kalau begitu. Karena terlalu lama menunda banyak kewajiban, muncullah perasaan bersalah dalam dirinya. Maka syetan pun datang membisikkan padanya bahwa rasa bersalah itu muncul karena Islam terlalu banyak aturan, terlalu banyak perintah, terlalu banyak larangan, kurang membebaskan. Kemerdekaannya sebagai manusia hilang. Hak azazinya untuk menikmati hidup terhalang. Dan bisikan-bisikan indah lain dari syetan yang pada akhirnya membuatnya ragu pada Islam, ragu pada Al-Qur’an, ragu adanya hari kiamat dan hari pembalasan, bahkan akhirnya ragu apa benar Allah itu ada? A’udzubillahi min dzalik.
3. Tertipu oleh angan-angan kosong (wa gharratkumul amaanii-yu)
Kenikmatan berupa harta, kepandaian, kepopuleran dan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya, yang Allah berikan padanya ternyata tak ia gunakan untuk semakin mendekati Allah. Ia justru mengira kenikmatan itulah yang mampu memberikan kebahagiaan sejati padanya, sehingga ia justru menghabiskan hidupnya untuk fokus mencari kenikmatan-kenikmatan itu. Jika kenikmatan bertambah, dan merasa belum bahagia, ia merasa harus lebih banyak dan lebih keras lagi mencari kenikmatan itu. Ia tertipu oleh angan-angan kosong. Ia merasa asal masih ada iman dalam hatinya walau sedikit, Allah akan mengampuninya. Ia lupa, bahwa kebahagiaan bukan berasal dari kenikmatan dunia, kebahagiaan sejati berasal dari kedekatan hatinya kepada Allah, Robb-nya. Angan-angan kosong ini berhasil menipunya hingga datang kematian.
Dan jelas-jelas dalam ayat 13 dan 14 di atas, Allah memberi label munafik kepada orang-orang yang melakukan 3 hal tersebut di atas. A’udzubillahi min dzalik.
Sahabat Ummi, kita bersyukur telah diberikan nikmat berupa islam dan iman. Kini kita harus lebih hati-hati menjaga keislaman dan keimanan kita, agar kelak di hari kebangkitan, kita tidak merugi. Kita kira kita termasuk golongan orang-orang beriman, tapi ternyata tidak, hanya karena kita suka berada dalam situasi yang menyulitkan iman kita, hanya karena kita suka menunda-nunda, dan karena kita terlalu mabuk dengan kenikmatan dunia. Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita dari sifat-sifat demikian. Amiin. Dan Allah Maha Tahu Yang Sebenarnya.
Referensi:
1. Lessons from Surah Al-Hadiid:12-15 at video of jummah khutbah 1/22/2016 at fb Nouman Ali Khan.
2. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8, hal 50-53, Pustaka Imam Syafi’i, 2004
Sumber : ummi-online.com
0 komentar:
Post a Comment